
Aku pikir semuanya akan berakhir indah. Tapi aku salah. Aku terlalu bernafsu mendahului keputusan Tuhan. “Aaaaaa!” aku berusaha mengeluarkan semua beban di hati ini. Aku menghela napas panjang. Aku terdiam sesaat. Aku masih tidak mengerti kenapa semuanya terjadi di luar dugaan dan parahnya semua berakhir dengan begitu menyedihkan. Aku mengambil beberapa buah batu yang ada di sekitarku kemudian melemparkannya ke kolam satu demi satu. “Buat lo yang udah khianatin gue!” “PLUK!” batu pertama aku lempar dengan sekuat tenaga. “Buat lo yang udah bikin orangtua gue kecewa!” “PLUK!” begitu juga dengan batu kedua aku lempar dengan sekuat tenaga.
“Buat lo yang.. yang..” aku menghela napas lagi. “Yang apa?” kata seseorang tiba-tiba. Aku terkejut dengan kedatangannya yang tiba-tiba itu. Pria yang berkulit putih, berhidung mancung dan berambut hitam lurus itu duduk di sebelahku. Aku memperhatikannya dengan seksama. Dia memandang ke arah kolam. Tiba-tiba dia menutup matanya. Dia menikmati gemericik air yang berasal dari air mancur di tengah kolam. Dia menghirup udara segar. Tampak damai sekali. Dia membuka matanya. Ups! Aku langsung memalingkan wajah. Tentunya aku malu kalau dia sampai mendapatiku sedang memperhatikannya. “Ayo dong kamu coba juga” katanya. Aku menoleh ke arahnya. Aku menunjukkan ekspresi kalau aku tidak berminat. “Ayo! Pejamkan mata kamu dan nikmati udara segarnya” pria itu berlagak memerintah. “Penting ya?” aku yang sedikit merasa terusik dengan kedatangan dan permintaan konyolnya itu menjadi sedikit kesal. “Ayolah. Sekali aja” pria itu memaksa. Dia memejamkan matanya sekali lagi. Menghirup udara bebas lagi, dan sangat menikmatinya. Akhirnya, aku pun tergerak untuk mencoba. Aku mulai memejamkan mataku. Aku menghirup udara segar seperti yang dilakukan pria itu. Aku menghirupnya lebih dalam. Bahkan aku bisa mencium wangi berbagai bunga yang ditanam di sekitar taman. Padahal sedari tadi aku tidak menyadari bau wewangian yang menyegarkan itu. Suara gemericik air semakin menambah kedamaian yang sedang aku rasakan. Nyaman sekali. Aku mengulanginya berkali-kali sampai akhirnya aku membuka mataku lagi. “Enak kan?” sahutnya kepadaku yang baru saja membuka mata. Aku hanya membalasnya dengan senyuman. Pria ini benar-benar pandai membawa suasana. “Undangan pernikahannya bagus. Perpaduan warna yang manis dengan kesan mewah” dia mengambil sebuah undangan pernikahan berwarna merah muda dengan dominasi silver yang berada di atas tasku. “Tapi nggak semanis kenyataannya” “Maksudnya?” kali ini pria itu berlagak menyelidik. “Itu undangan pernikahanku. Seharusnya hari ini aku menikah. Tapi ya beginilah kenyataannya. Padahal persiapan sudah hampir selesai. Undangan itu juga sudah siap dibagi. Tapi lelaki itu menghancurkan semuanya. Sejak awal, hubunganku dan dia tidak direstui oleh orangtuanya. Orangtuanya sudah mempunyai pilihannya sendiri. Sebenarnya aku ragu melanjutkan hubungan ini. Orangtuaku berkali-kali menanyakan apakah aku yakin dengan pilihanku. Tapi aku melihat kesungguhannya memperjuangkan hubungan kami. Aku pun menjadi yakin untuk meresmikan hubunganku dengannya. Tapi setelah itu, kejadian yang tidak pernah kuduga terjadi. Ayahnya sakit keras. Dia takut kalau sampai akhir hayat Ayahnya dia belum sempat membahagiakannya. Menurutnya, saat itu satu-satunya cara yang bisa dia lakukan untuk membahagiakan Ayahnya adalah dengan menuruti permintaan Ayahnya. Dimana Ayahnya ingin dia menikah dengan wanita pilihannya. Dia bilang dia sudah menjelaskan kalau sebentar lagi dia akan menikahiku. Tapi Ayahnya memberikan pilihan yang sulit. Aku atau Ayahnya. Akhirnya dia lebih memilih Ayahnya dengan kata lain bahwa dia lebih memilih bersanding dengan wanita itu. Hal yang membuat aku hancur adalah kenapa semuanya harus terjadi ketika sudah sejauh ini? Kami hampir berhasil menyeberangi rintangan kami. Tapi ternyata dia membiarkan aku melewati sisa rintangan itu sendiri. Dia memilih jalan yang lebih aman bersama wanita itu daripada melewati jalan yang penuh rintangan bersamaku” pipiku mulai basah oleh air mata yang tak terasa semakin bertambah deras. “Bayangin deh kalau kamu ada di posisi dia. Kamu bakal pilih dia atau Ayah kamu?” aku terenyak mendengar pertanyaan itu. “Bayangin kalau seandainya saat ini kamu menikah sama dia. Perasaan Ayahnya pasti kecewa kan? Artinya kamu sudah membiarkan suami kamu sendiri menjadi anak durhaka. Kamu juga menyandang status menantu yang durhaka. Belum apa-apa sudah membuat Ayah mertuamu kecewa” pernyataan pria itu semakin membuat aku membisu dalam tangis. “Kamu tau nggak, kenapa calon suami kamu membiarkan kamu melewati sisa rintangan kamu sendiri? Karena dia tahu setelah kamu berjalan dan berhasil melewati rintangan itu kamu akan menemukan kebahagiaan yang sesungguhnya. Kebahagiaan yang melebihi apapun. Bahkan aku yang baru kenal kamu aja yakin kamu akan mendapatkan kebahagiaan di ujung jalan yang penuh rintangan itu. Walaupun aku nggak tau seperti apa bentuk kebahagiaan itu. Kamu tahu caranya mendapatkan kebahagiaan itu? Kamu harus ikhlas. Ikhlas dengan semua kejadian yang kamu alami. Kamu boleh berencana, tapi ingat Tuhan tetap perencana yang paling hebat. Tuhan pasti punya rencana yang jauh lebih indah. Intinya, mulai sekarang kamu harus belajar mengikhlaskan semuanya dan kamu harus yakin kalau Tuhan pasti akan selalu memberikan yang terbaik” apa yang dikatakan pria itu memang benar. Aku tidak seimbang dalam melihat keadaan. Aku hanya melihat kejadian yang aku alami dari sisi negatif saja. Semua kata yang terucap dari bibir pria itu benar-benar membuatku tenang dan mebuatku sadar akan semuanya. Membuatku sadar kalau aku masih punya Tuhan. Air mataku pun berhenti mengalir hanya saja masih sesenggukan. “Masih butuh bahu untuk menangis?” pria itu menawarkan bahunya untuk bersandar. Benar-benar pria yang pengertian, ujarku. “Nggak. Terima kasih” aku menolak secara halus. Aku baru pertama kali bertemu pria ini dua puluh menit yang lalu. Tentu saja aku tidak boleh sembarangan. Walaupun rasanya ingin sekali menyenderkan kepalaku yang terasa berat ini pada bahunya yang bidang. Mungkin akan terasa sangat nyaman.

“Ngomong-ngomong kamu tau namaku darimana?” dari dua puluh menit yang lalu, aku merasa belum sempat memperkenalkan diri karena terlalu larut dalam cerita yang sebenarnya tidak patut aku ceritakan. Pria itu hanya menunjukkan namaku pada undangan pernikahan yang ia pegang sejak tadi.
“Oh iya aku lupa” aku tersenyum malu.
“Ya sudah kalau begitu aku pergi dulu ya. Semoga kita dipertemukan lagi di lain waktu. Oh iya, kamu cantik kalau senyum” pria misterius itu bangkit dari tempat duduk dan mulai melangkah pergi meninggalkanku yang masih terdiam di bangku taman. Tapi entah kenapa ada perasaan tidak rela ketika pria itu pergi.
“Tu.. Tunggu! Siapa nama kamu?” bodohnya aku belum sempat menanyakan namanya.
“Ada di undangan pernikahan kamu!” pria itu berteriak dari kejauhan.
“Terima kasih ya!” aku pun sampai lupa mengucapkan terima kasih pada pria yang telah berbaik hati mendengarkan semua cerita pilu tentangku. Dia hanya membalas dengan acungan ibu jari.
Sebenarnya aku bingung dengan jawaban pria itu. Kenapa jawabannya ada di undanganku? Aku pun segera mengeceknya. Aku membolak-balik undangan itu. “Mana namanya? Apa maksudnya?” gumamku lirih. Lalu aku berinisiatif membuka undangan itu. Tampak coretan di atas nama mantan calon suamiku dan di bawahnya ada sebuah tulisan. “Vino Ariansyah Putra?” aku mencari-cari sosok pria itu. Ternyata dia sudah menghilang. “Jadi namanya Vino” batinku. Oh iya! Aku baru sadar kalau nama calon pengantin dalam undangan itu kini berubah menjadi Viona Putri dan Vino Ariansyah Putra. Kapan dia melakukan ini semua? Ada-ada saja ulahnya. “Eh! Nama kita juga mirip” batinku senang. Aku jadi senyum-senyum sendiri.
Aku mencoba mencari tissue di dalam tas untuk mengeringkan sisa air mataku. Ah! Ternyata tidak terbawa. Aku pun hanya mengusap sisa air mataku menggunakan tangan.
Vino, sesosok pria misterius itu berhasil membebaskanku dari belenggu kisah sendu. Kedatangannya yang tiba-tiba, lalu mengajakku relaksasi, mendengarkan ceritaku, memberikan nasihat bijak, memberikan sapu tangan, sampai mengganti nama mantan calon suamiku dengan namanya, semua itu mengukirkan kenangan singkat yang sangat manis dan penuh makna. Aku akan sangat bahagia jika suatu saat aku dipertemukan lagi dengan Vino. Apalagi kalau sampai dia adalah pria yang dikirimkan Tuhan sebagai pengganti yang sesungguhnya akan menjadi jodohku seperti apa yang dia tulis di undangan pernikahan itu. “Semoga saja ya Vino” gumamku penuh harap.
0 komentar