“sebentar lagi hari ibu, kamu mau ngasih apa sama ibu kamu Nia?”
“aku mau kasih ibu aku mawar putih, ibu aku suka sekali mawar putih!”
“dari mana kamu bisa dapat mawar putih?” Tanya temannya.
“aku akan membelinya, aku akan kerja!”
Begitulah Nia berkata dengan polosnya, anak perempuan yang berumur sepuluh tahun, seorang anak dengan pakaiannya yang kusam, bajunya mempunyai beberapa sobekan disana-sini dan ditambal dengan kain yang warnanya berbeda dari warna baju.
“aku mau kasih ibu aku mawar putih, ibu aku suka sekali mawar putih!”
“dari mana kamu bisa dapat mawar putih?” Tanya temannya.
“aku akan membelinya, aku akan kerja!”
Begitulah Nia berkata dengan polosnya, anak perempuan yang berumur sepuluh tahun, seorang anak dengan pakaiannya yang kusam, bajunya mempunyai beberapa sobekan disana-sini dan ditambal dengan kain yang warnanya berbeda dari warna baju.
“ibu, aku pulang!” teriak Nia dari depan pintu rumah mereka yang kecil dan tak terurus.
“iya Nia, ibu ada di dapur!”
Nia masuk ke dapur dan melihat ibunya sedang mengobrak-abrik barang bekas.
“itu hasil mulung ya bu?”
“iya Nia, sini hasil mulung kamu biar ibu bersihin.”
“tidak usah bu, biar Nia aja, Nia bisa kok!” bantah Nia sambil membawa hasil mulungnya ke luar dari rumah.
“kamu harus belajar, ibu mau kamu pintar bisa baca dan nulis,” teriak ibunya dari arah dapur.
“iya bu.”
“iya Nia, ibu ada di dapur!”
Nia masuk ke dapur dan melihat ibunya sedang mengobrak-abrik barang bekas.
“itu hasil mulung ya bu?”
“iya Nia, sini hasil mulung kamu biar ibu bersihin.”
“tidak usah bu, biar Nia aja, Nia bisa kok!” bantah Nia sambil membawa hasil mulungnya ke luar dari rumah.
“kamu harus belajar, ibu mau kamu pintar bisa baca dan nulis,” teriak ibunya dari arah dapur.
“iya bu.”
Nia tertatih-tatih mengambil kalender yang hanya selembaran kertas karton, lalu ia melingkari tanggal 22 Desember yaitu hari ibu.
Berlahan-lahan diletakkannya kalender itu di atas balai-balainya yang sudah reot tempat biasa ia tidur, sedangkan ibunya hanya beralaskan Koran untuk bisa tidur.
Sejenak Nia menatap sedih ke arah ibunya, ibu yang begitu menjaganya, membelanya dan menemaninya.
Ibu yang ingin selalu memberikan yang ia inginkan namun tak mampu karena tidak mempunyai biaya.
Ibu yang selalu menangis ketika Nia menangis dan ibu yang selalu menopang hidup Nia, memberikannya makanan yang cukup dan tempat berteduh, yang sekarang tampak seperti ibu yang sangat tua, kurus, pucat, seakan-akan senyuman telah hilang darinya.
Berlahan-lahan diletakkannya kalender itu di atas balai-balainya yang sudah reot tempat biasa ia tidur, sedangkan ibunya hanya beralaskan Koran untuk bisa tidur.
Sejenak Nia menatap sedih ke arah ibunya, ibu yang begitu menjaganya, membelanya dan menemaninya.
Ibu yang ingin selalu memberikan yang ia inginkan namun tak mampu karena tidak mempunyai biaya.
Ibu yang selalu menangis ketika Nia menangis dan ibu yang selalu menopang hidup Nia, memberikannya makanan yang cukup dan tempat berteduh, yang sekarang tampak seperti ibu yang sangat tua, kurus, pucat, seakan-akan senyuman telah hilang darinya.
Nia pergi meninggalkan meninggalkan rumanya dan mencari pekerjaan di pasar yang tak jauh dari rumahnya.
“ibu, mari sini saya bawakan belanjaannya,” pinta Nia kepada seorang pembeli ke pembeli-pembeli lain yang berlalu-lalang di sekitar pasar.
Setelah itu Nia berjalan pulang menuju rumahnya sambil sesekali sebentar duduk di batang pohon yang telah tumbang untuk menghitung uang yang dia dapatkan hari ini.
“satu, dua, tiga,” Nia mulai menghitung.
“sudah lima ribu, lumayan dua hari lagi hari ibu aku pasti bisa belikan mawar putih tiga tangkai untuk ibu!” ucap Nia penuh semangat, lalu kemudian melangkahkan kakinya untuk berjalan kembali kali ini arahnya bukan jalan pulang melainkan menyusuri jalan dan gang-gang kecil, Nia ingin menanyakan berapa harga setangkai mawar putih di toko bunga.
“ibu, mari sini saya bawakan belanjaannya,” pinta Nia kepada seorang pembeli ke pembeli-pembeli lain yang berlalu-lalang di sekitar pasar.
Setelah itu Nia berjalan pulang menuju rumahnya sambil sesekali sebentar duduk di batang pohon yang telah tumbang untuk menghitung uang yang dia dapatkan hari ini.
“satu, dua, tiga,” Nia mulai menghitung.
“sudah lima ribu, lumayan dua hari lagi hari ibu aku pasti bisa belikan mawar putih tiga tangkai untuk ibu!” ucap Nia penuh semangat, lalu kemudian melangkahkan kakinya untuk berjalan kembali kali ini arahnya bukan jalan pulang melainkan menyusuri jalan dan gang-gang kecil, Nia ingin menanyakan berapa harga setangkai mawar putih di toko bunga.
Terik matahari yang panas membakar kulit Nia yang tampak terlihat semakin hitam, di pinggir jalan banyak pedagang kaki lima yang menawarkan dagangannya, beberapa di antara pedagang-pedagang itu adalah pedagang es.
Dengan keras Nia memaksa dirinya untuk tidak membeli es, dan menahan tenggorokannya yang terasa mulai kering.
Beberapa kemudian Nia sampai pada sebuah toko bunga, dilihatnya beberapa tangkai mawar putih yang indah terpajang disitu, kemudian menghampiri penjualnya.
“mbak, mawar putihnya yang itu satu tangkainya berapa ya?” sambil menunjuk ke arah mawar putih yang indah terpajang di sudut ruangan.
Si penjual mengikuti pandangan yang ditunjuk Nia “yang itu satu tangkainya Rp.10.000, mau beli berapa?”
“nggak mbak, bukan mau beli sekarang tapi tanggal 22 nanti saya akan balik lagi buat beli mawar itu ya”
Dengan keras Nia memaksa dirinya untuk tidak membeli es, dan menahan tenggorokannya yang terasa mulai kering.
Beberapa kemudian Nia sampai pada sebuah toko bunga, dilihatnya beberapa tangkai mawar putih yang indah terpajang disitu, kemudian menghampiri penjualnya.
“mbak, mawar putihnya yang itu satu tangkainya berapa ya?” sambil menunjuk ke arah mawar putih yang indah terpajang di sudut ruangan.
Si penjual mengikuti pandangan yang ditunjuk Nia “yang itu satu tangkainya Rp.10.000, mau beli berapa?”
“nggak mbak, bukan mau beli sekarang tapi tanggal 22 nanti saya akan balik lagi buat beli mawar itu ya”
Esoknya setelah membantu ibunya mengutip barang-barang bekas, Nia langsung kembali bekerja di pasar untuk menawarkan jasanya sebagai kuli yang membawa barang-barang pembeli yang banyak dan berat.
Ketika akan membawa barang, Nia hampir terjatuh karena tersandung batu, akibatnya sandal yang Nia pakai putus dan tak dapat digunakan lagi, dengan lesu Nia memungut sandalnya yang telah putus dan langsung memperbaikinya dengan kawat yang telah berkarat terbuang di sekitar tempat sampah. Kemudian setelah itu Nia mulai menghitung uang yang ia dapat. Betapa senangnya dia uangnya kini telah terkumpul Rp. 15.000, dan senyumnya semakin mengembang ketika menyadari besok adalah hari ibu.
Ketika akan membawa barang, Nia hampir terjatuh karena tersandung batu, akibatnya sandal yang Nia pakai putus dan tak dapat digunakan lagi, dengan lesu Nia memungut sandalnya yang telah putus dan langsung memperbaikinya dengan kawat yang telah berkarat terbuang di sekitar tempat sampah. Kemudian setelah itu Nia mulai menghitung uang yang ia dapat. Betapa senangnya dia uangnya kini telah terkumpul Rp. 15.000, dan senyumnya semakin mengembang ketika menyadari besok adalah hari ibu.
“ojek payung, ayo buk, mbak ojek payung!” Nia berteriak menawarkan jasa kepada pembeli-pembeli yang sebagian besarnya adalah wanita.
Hujan semakin lebat, Nia tak ada henti-hentinya mengantarkan para pembeli menggunakan payungnya, rasa dingin tak lagi dihiraukannya, rasa lapar dan letih pun tak dapat membuatnya berhenti.
Sampai akhirnya Nia jatuh sakit pada malam harinya
Hujan semakin lebat, Nia tak ada henti-hentinya mengantarkan para pembeli menggunakan payungnya, rasa dingin tak lagi dihiraukannya, rasa lapar dan letih pun tak dapat membuatnya berhenti.
Sampai akhirnya Nia jatuh sakit pada malam harinya
“kenapa kamu hujan-hujanan Nia?”
Nia hanya diam tak menjawab dibiarkannya ibunya meletakkan kain yang sudah dibasahi air dingin di keningnya untuk menurunkan panasnya.
“adik-adik mana bu?” Tanya Nia lemas.
“sudah tidur, kamu istirahatlah Nak!” pinta ibunya sambil memijat-mijat tangan dan kaki Nia.
“ibu tidak tidur?”
“ibu temani kamu disini, tidurlah.”
“buk?” panggil Nia, tangannya memegang tangan ibunya dengan pelan. “Nia sayang sama ibu.”
Mendengar itu ibu Nia tak tahan menahan tangisnya, diusapnya pipi kanan Nia dengan penuh kasih sayang “ibu juga sayang sekali sama Nia, Nia anak yang baik, ibu bangga sama Nia!”
Nia cuma tersenyum lalu memejamkan matanya dan kemudian tertidur. Ibu Nia terus memandangi wajah putrinya yang kini tertidur di dekatnya, beberapa tetesan air mata mengalir di pipi ibu Nia dan jatuh ke pipi Nia yang kemudian mengalir ke bawah bantal.
Nia hanya diam tak menjawab dibiarkannya ibunya meletakkan kain yang sudah dibasahi air dingin di keningnya untuk menurunkan panasnya.
“adik-adik mana bu?” Tanya Nia lemas.
“sudah tidur, kamu istirahatlah Nak!” pinta ibunya sambil memijat-mijat tangan dan kaki Nia.
“ibu tidak tidur?”
“ibu temani kamu disini, tidurlah.”
“buk?” panggil Nia, tangannya memegang tangan ibunya dengan pelan. “Nia sayang sama ibu.”
Mendengar itu ibu Nia tak tahan menahan tangisnya, diusapnya pipi kanan Nia dengan penuh kasih sayang “ibu juga sayang sekali sama Nia, Nia anak yang baik, ibu bangga sama Nia!”
Nia cuma tersenyum lalu memejamkan matanya dan kemudian tertidur. Ibu Nia terus memandangi wajah putrinya yang kini tertidur di dekatnya, beberapa tetesan air mata mengalir di pipi ibu Nia dan jatuh ke pipi Nia yang kemudian mengalir ke bawah bantal.
Keesokan paginya cuaca tampak cerah, terasa sejuk dan segar, Nia masih sakit, matanya setengah terbuka memandang ke sekeliling ruangan, ibunya tidak ada pastilah sedang membeli makanan di luar, dengan sayup-sayup Nia melihat ke arah kalender yang tergantung asal di tembok rumah lalu terkejut ketika menyadari ini adalah hari ibu. Berlahan-lahan Nia bangun memaksakan dirinya untuk segera sehat dan berlari menuju toko bunga. Beberapa kali Nia terasa ingin jatuh karena kepalanya terasa begitu pusing dan sakit.
Nia sampai di toko bunga lalu kembali dengan semangat, sepanjang jalan Nia tersenyum membayangkan ibunya yang gembira menerima mawar putih darinya.
Dari kejauhan Nia melihat ibunya ada di dalam sebuah toko pakaian remaja. Ketika akan menyeberang jalan Nia merasa kepalanya terlalu pusing sehingga ia terjatuh dan mawarnya terlempar ke tengah jalan. Di saat bersamaan ibu Nia keluar membawa bungkusan plastik dan melihat Nia yang ingin berjalan ke tengah jalan raya. Saat itu juga sebuah mobil dengan laju yang sangat kencang akan melintasi jalan itu dan dengan pasti akan menghancurkan bunga mawar yang telah susah Nia dapatkan, tanpa memperdulikan keselamatannya Nia mengambil mawar itu dan menggantikan dirinya untuk ditabrak, tubuh Nia terlempar tak seberapa jauh. Dengan usahanya yang keras mawar putih itu berhasil diselamatkannya.
Ibu Nia menjerit histeris ketika menyaksikan kejadian yang dialami putrinya “Nia!!!” lalu berlari mendekati Nia yang telah mengeluarkan banyak darah.
“ibu, selamat, hari ibu ya,” ucap Nia dengan susah payah, tangannya yang gemetar meraih mawar putih yang ada di dekatnya, Nia tersenyum ditahannya rasa sakit yang ada di kepalanya dan di beberapa bagian tubuh lain yang mengeluarkan darah.
Ibunya hanya menangis ketika Nia mengulurkan mawar putih yang kini warnanya bercampur dengan beberapa tetesan darah “maaf bu mawarnya jadi ada merahnya juga, Nia tidur dulu ya bu”
Beberapa orang mulai mengangkat tubuh Nia dan memasukkannya ke dalam mobil ambulan.
“Nia, tadi ibu beliin kamu baju baru,” ucap ibunya di dalam mobil.
Nia cuma tersenyum mendengarnya sambil ditatapnya wajah ibunya yang terus menangis, berlahan-lahan dirasakannya matanya yang semakin berat lalu kemudian ia pun memejamkan matanya untuk selamanya.
Ibu Nia hanya menangis di dalam mobil ambulan yang terus melaju kencang yang dia sendiri tak tahu dimanakah mobil ini akan berhenti, yang dia tahu kini putri kesayangannya telah pergi. tak ada lagi putri yang selalu mengadu padanya.
“ibu, tadi Nia jatuh!”
“sini, ibu obati sayang.”
“nggak sakit kan?”
“nggak, Nia kan kuat, karena Nia nggak mau nangis di depan ibu,” ucap Nia dengan polos.
“iya, anak ibu sayang.”
Nia mendekati ibunya dan memeluknya dengan erat “makasih bu,” ucapnya lalu mencium pipi kanan dan kiri ibunya.
Tak ada lagi putri yang selalu menolak untuk berpisah darinya.
“Nia, ayo mandi?”
“tidak mau, Nia mau bantuin ibu, untuk apa mandi?”
“biar wangi, biar nanti kalau udah besar Nia makin cantik terus menikah deh.”
“Nia nggak mau menikah ibu, Nia mau sama ibu terus,” jawab Nia lalu berlari memeluk ibunya.
“sampai nanti Nia meninggal, Nia mau sama ibu, Nia sayang sama ibu.”
“iya sayang,” ucap ibunya lalu mencium pipi Nia “Nia bau, belum mandi.”
Nia membalas dengan tertawa “akh, ibu ngejek,” lalu keduanya sama-sama tertawa.
Dari kejauhan Nia melihat ibunya ada di dalam sebuah toko pakaian remaja. Ketika akan menyeberang jalan Nia merasa kepalanya terlalu pusing sehingga ia terjatuh dan mawarnya terlempar ke tengah jalan. Di saat bersamaan ibu Nia keluar membawa bungkusan plastik dan melihat Nia yang ingin berjalan ke tengah jalan raya. Saat itu juga sebuah mobil dengan laju yang sangat kencang akan melintasi jalan itu dan dengan pasti akan menghancurkan bunga mawar yang telah susah Nia dapatkan, tanpa memperdulikan keselamatannya Nia mengambil mawar itu dan menggantikan dirinya untuk ditabrak, tubuh Nia terlempar tak seberapa jauh. Dengan usahanya yang keras mawar putih itu berhasil diselamatkannya.
Ibu Nia menjerit histeris ketika menyaksikan kejadian yang dialami putrinya “Nia!!!” lalu berlari mendekati Nia yang telah mengeluarkan banyak darah.
“ibu, selamat, hari ibu ya,” ucap Nia dengan susah payah, tangannya yang gemetar meraih mawar putih yang ada di dekatnya, Nia tersenyum ditahannya rasa sakit yang ada di kepalanya dan di beberapa bagian tubuh lain yang mengeluarkan darah.
Ibunya hanya menangis ketika Nia mengulurkan mawar putih yang kini warnanya bercampur dengan beberapa tetesan darah “maaf bu mawarnya jadi ada merahnya juga, Nia tidur dulu ya bu”
Beberapa orang mulai mengangkat tubuh Nia dan memasukkannya ke dalam mobil ambulan.
“Nia, tadi ibu beliin kamu baju baru,” ucap ibunya di dalam mobil.
Nia cuma tersenyum mendengarnya sambil ditatapnya wajah ibunya yang terus menangis, berlahan-lahan dirasakannya matanya yang semakin berat lalu kemudian ia pun memejamkan matanya untuk selamanya.
Ibu Nia hanya menangis di dalam mobil ambulan yang terus melaju kencang yang dia sendiri tak tahu dimanakah mobil ini akan berhenti, yang dia tahu kini putri kesayangannya telah pergi. tak ada lagi putri yang selalu mengadu padanya.
“ibu, tadi Nia jatuh!”
“sini, ibu obati sayang.”
“nggak sakit kan?”
“nggak, Nia kan kuat, karena Nia nggak mau nangis di depan ibu,” ucap Nia dengan polos.
“iya, anak ibu sayang.”
Nia mendekati ibunya dan memeluknya dengan erat “makasih bu,” ucapnya lalu mencium pipi kanan dan kiri ibunya.
Tak ada lagi putri yang selalu menolak untuk berpisah darinya.
“Nia, ayo mandi?”
“tidak mau, Nia mau bantuin ibu, untuk apa mandi?”
“biar wangi, biar nanti kalau udah besar Nia makin cantik terus menikah deh.”
“Nia nggak mau menikah ibu, Nia mau sama ibu terus,” jawab Nia lalu berlari memeluk ibunya.
“sampai nanti Nia meninggal, Nia mau sama ibu, Nia sayang sama ibu.”
“iya sayang,” ucap ibunya lalu mencium pipi Nia “Nia bau, belum mandi.”
Nia membalas dengan tertawa “akh, ibu ngejek,” lalu keduanya sama-sama tertawa.
Dan sekarang putrinya telah tertidur untuk selamanya, terasa pedih perasaannya harus melangkah sendiri di hari-hari yang akan datang. Air mata terus mengalir tiada henti di pipi ibu Nia, suara serinih ambulan kini terdengar seperti lagu kematian yang menghantarkan Nia dan ibunya ke suatu tempat yang seperti tanpa ada ujungnya.
Cerpen Karangan: Nadya
Blog: hutagalung4.blogspot.com
Nadya Rahayu
Blog: hutagalung4.blogspot.com
Nadya Rahayu
0 komentar