
Tapi sore ini aku akan berusaha keras untuk bisa menatap matamu. Dan memberikan senyuman. Atau hanya sebuah sapaan sekilas. Hai, meskipun hanya sesingkat itu.
Karena sore ini aku mendapatkan kabar bahwa kau sedang ulang tahun yang ketujubelas tahun. Dan aku sudah mengenalmu sejak kita sepuluh tahun. Dimana aku merupakan murid ternakal di sekolah dan harus turun kelas. Disanalah aku baru menyadari kalau kaulah malaikat terakhirku yang selalu membuat hidupku penuh pelangi. Mekar seperti bunga. Dan takkan pernah merasakan senja di ufuk hidupku.
Sore ini. Aku akan berusaha untuk bisa menjadi pria yang perlu kau perhitungkan dalam hidupmu. Dimana aku akan memberikan semua yang kau harapkankan. Menyerahkan semua yang kau inginkan.
Sepuluh tahun yang lalu, aku pernah ditantang berkelahi oleh seorang bocah badung dari kelasmu. Dan kami dipisahkan oleh teriakanmu yang memang membenci sikap kekanakan kami yang seringkali perkelahian terjadi hanya karena masalah sepele.
Ya, sepuluh tahun lalu. Aku pernah menemuimu di kelas.
“Dini, besok acara prakaryanya dikumpulin jam berapa?” tanyaku yang ogah-ogahan karena merasa malu untuk menatap balik matamu.
“Jam 4 sore di rumahku ya. Awas lo klo gak dateng?” ucapmu tersenyum manja dan sesaat aku merasa bahagia mendapatkan balasan senyumanmu itu. Dan sayangnya aku tidak pernah kembali datang ke rumahmu saat itu. Aku merasa malu jika harus mengatakannya padamu.
“Dini, besok acara prakaryanya dikumpulin jam berapa?” tanyaku yang ogah-ogahan karena merasa malu untuk menatap balik matamu.
“Jam 4 sore di rumahku ya. Awas lo klo gak dateng?” ucapmu tersenyum manja dan sesaat aku merasa bahagia mendapatkan balasan senyumanmu itu. Dan sayangnya aku tidak pernah kembali datang ke rumahmu saat itu. Aku merasa malu jika harus mengatakannya padamu.
Tak lama aku termenung di perempatan kita biasa bertemu. Tak terasa waktu sudah menunjukan pukul setengah enam sore dan kau pun belum terlihat juga. Bagiku mungkin ini seperti sebuah karma balasan. Aku selalu menjadi pihak yang selalu menghindar jika kau sedang mendapatkan masalah dan kurang memberikan reaksi.
“Aku gak tahu mau berkata apa buat kamu gus?” ucapmu ketika menangis di depan taman sekolah. Waktu itu Baggus sedang kesal pada ulahmu yang suka mendekati Heru dan Davi. Saat itu aku hanya bisa berdiri dan tak dapat menatap matamu yang sedang dipenuhi air mata.
Kata banyak orang, Baggus memang cemburuan dan merasa sangat sensitif jika menyangkut hobby dan pola pergaulan pacarnya dengan teman laki-lakinya. Dan pertengkaran itu menjadi semakin ramai ketika Davi mendekatimu dan memelukmu. Hingga perkelahian pun kembali terjadi.
Sayangnya Baggas seorang atlit basket sekolah dan Davi hanya anak nongkrong yang memang secara fisik bukan lawannya. Tapi Davi tetap berdiri dan melawannya untuk membelamu. Sedangkan aku hanya melihat kegaduhan itu dari kejauhan. Tanpa dapat membelamu…
Kata banyak orang, Baggus memang cemburuan dan merasa sangat sensitif jika menyangkut hobby dan pola pergaulan pacarnya dengan teman laki-lakinya. Dan pertengkaran itu menjadi semakin ramai ketika Davi mendekatimu dan memelukmu. Hingga perkelahian pun kembali terjadi.
Sayangnya Baggas seorang atlit basket sekolah dan Davi hanya anak nongkrong yang memang secara fisik bukan lawannya. Tapi Davi tetap berdiri dan melawannya untuk membelamu. Sedangkan aku hanya melihat kegaduhan itu dari kejauhan. Tanpa dapat membelamu…
Aku melihat jam tanganku, waktu sudah menunjukan pukul delapan malam. Harusnya dia sudah datang ke rumahnya.
“Ris, kamu ngapain?” tanyamu pada suatu waktu saat menyapaku. Dan aku terkejut melihatmu tiba-tiba menyapaku. “gua lagi coba buat rancangan musola Darul ikhwan di samping rumah. Kali aja rancangan gua diterima” ucapku merasa pede karena disapa olehmu.
“Emang, kalo menang dapet apaan?” ucapmu yang tersenyum dan penasaran.
“Wah, gua gak tahu bakal dapet apaan… Soalnya nih proyek masjid”
“Masjid juga kan pasti bayar orang”
“Wah, kalo itu sih gua gak bisa pastiin bakal dapet bayaran apa enggak. Yang penting gua berusaha buat bisa ngebantu” ucap gua yang merasa santai dan tidak mempertimbangkan soal biaya dari ongkos rancangan masjid itu. Namun saat itu aku merasa bersalah pada sikapmu yang justru merasa malu padaku.
“Emang, kalo menang dapet apaan?” ucapmu yang tersenyum dan penasaran.
“Wah, gua gak tahu bakal dapet apaan… Soalnya nih proyek masjid”
“Masjid juga kan pasti bayar orang”
“Wah, kalo itu sih gua gak bisa pastiin bakal dapet bayaran apa enggak. Yang penting gua berusaha buat bisa ngebantu” ucap gua yang merasa santai dan tidak mempertimbangkan soal biaya dari ongkos rancangan masjid itu. Namun saat itu aku merasa bersalah pada sikapmu yang justru merasa malu padaku.
Dan malam itu, tak terasa waktu menunjukan pukul sebelas malam. Dan kau baru saja tiba bersama lima orang pria yang mengantarmu mengendarai motor. Kegaduhan dari suara tawa mereka. Dan cara mereka memandangmu. Meskipun aku tidak mengenal satu pun dari mereka. Aku mencoba mendekatimu dan ingin menyapa. Dan sepertinya saat kau melihat kedatanganku yang memang sengaja untuk mengejutkanmu. Dan itu telah membuatmu amat terkejut termasuk aku. Terlebih, ini untuk pertama kalinya aku melihatmu memakai pakaian yang serba minim dan dengan dandanan yang sangat tebal.
“Haris, ada apa malem begini ke rumah gua?”
“Gua mau kasih kado ulang tahun buat lo, Dini…” ucap gua memberanikan diri. Lalu seorang pria yang datang memelukmu terlihat merasa sombong dan risi melihatku.
“Apaan nih, buka dong pengen tau?” ucap pria itu membujuk bersama yang lainnya. Dan saat kado itu dibuka. Mereka semua mentertawainya termasuk dirimu. Kado boneka kelinci itu direbut oleh pria di sampingmu dan memain-mainkannya sebagai olok-olokan. Lalu bertingkah seolah tidak sengaja membuangnya ke selokan.
“Dini mana suka barang beginian? Tar aku beliin aja yang baru…” ucap pria yang berusaha untuk menciummu.
Aku tahu, tatapan matamu yang sekilas itu padaku. Kau tak perlu lagi mengungkapkannya dengan kata-kata. Karena dari sekian tahun aku mengenalmu. Aku telah merasakan perubahan yang sangat jauh pada dirimu. Meskipun kau masih terlihat cantik bagiku. Tapi ini mungkin akan menjadi kado perpisahan bagiku.
“Gua mau kasih kado ulang tahun buat lo, Dini…” ucap gua memberanikan diri. Lalu seorang pria yang datang memelukmu terlihat merasa sombong dan risi melihatku.
“Apaan nih, buka dong pengen tau?” ucap pria itu membujuk bersama yang lainnya. Dan saat kado itu dibuka. Mereka semua mentertawainya termasuk dirimu. Kado boneka kelinci itu direbut oleh pria di sampingmu dan memain-mainkannya sebagai olok-olokan. Lalu bertingkah seolah tidak sengaja membuangnya ke selokan.
“Dini mana suka barang beginian? Tar aku beliin aja yang baru…” ucap pria yang berusaha untuk menciummu.
Aku tahu, tatapan matamu yang sekilas itu padaku. Kau tak perlu lagi mengungkapkannya dengan kata-kata. Karena dari sekian tahun aku mengenalmu. Aku telah merasakan perubahan yang sangat jauh pada dirimu. Meskipun kau masih terlihat cantik bagiku. Tapi ini mungkin akan menjadi kado perpisahan bagiku.
Cerpen Karangan: Fauzan Ganjil
Facebook: Fauzan Ganjil
Facebook: Fauzan Ganjil
0 komentar