Stella Riana Dewi
Kau adalah. . .
Pertemuan kita memang tidak begitu istimewa. Kamu
adalah sosok yang cuek. Dingin itu menurutku akan tetapi pertemuan kita tidak
sampai disini aja. Aku dan kamupun sering dipertemukan karena kamu adalah
atasanku dan aku adalah bawahanmu. Seiring berjalannya waktu, entah kenapa
aku mulai tambah terpesona dengan
parasmu yang menghipnotis pikiranku agar selalu memikirkanmu. Paras indahmu
menyihirku untuk menuliskan namamu dalam hatiku, bukan hanya aku aja yang
terpesona dengan paras indahmu begitu pula dengan wanita diluar sana yang luluh
setelah melihatmu dan akupun sadar banyaknya wanita yang berlomba-lomba
mendapatkan perhatianmu bahkan mereka berlomba mendapatkan ruang kosong dalam
hatimu.
Aku hanya bisa melihat dari kejauhan tingkah mereka yang
berusaha mendapatkan perhatianmu dan aku bertanya pada diriku sendiri, aku bisa
apa? Aku hanya perempuan biasa dan tidak menawan. Aku hanya bisa bersembunyi
dibalik tembok dan sesekali melihatmu meskipun kamu tidak pernah melihat ke
arahku. Meski perasaan ini naik-turun, akan tetapi dalam hatiku tetap ada
namamu dan di pikiranku masih ada sketsa wajahmu dengan paras indahmu.
Terimah kasih Tuhan, Kau telah menciptakan makhluk yang
begitu indah walaupun aku hanya bisa mencintainya dalam diamku, mencintainya
dalam kesederhanaanku itupun sudah cukup bagiku tanpa adanya balasan atas
perasaanku. Melihat senyumnya dari kejauhan sudah membuatku merasa
bahagia.
Kau yang kini aku cintai dalam diamku semoga nanti
engkau membalas apa yang aku rasakan ini. Bukankah ini hanya masalah
waktu? Aku yakin di waktu yang tepat nanti, jika kita berjodoh, kita akan
dipersatukan meski sekarang kita belum saling dekat ataupun saling sapa.
Kamu yang dulu ku kira matahari namun nyatanya hanyalah
pelangi . Hadir dengan segala warna yang indah namun hanya sesaat. Setelah
kepergianmu dulu,kini kau hadir kembali dihidupku lalu kau pergi lagi. Itulah
kamu, ya itu kamu yang dulu sempat sangat aku inginkan.
Bagaimana aku bisa menyelesaikan mimpi mimpi ku itu jika
di dalam mimpi itu banyak sekali tentang sosok dirimu.
Masih terbayang di benakku bagaimana kau memperlakukan ku sebagai opsi,
bukan pilihan pertama. Jungkir balik aku bertanya, “Apa yang kurang dari ku?” sampai tak cukup memberimu alasan
berhenti dan menetap hanya di dada ku.
Kamu pernah jadi alasan ku menunda impi. Menghancurkan life plans yang sempat saya gadang-gadang
sendiri. Melihatmu berjalan di dua hubungan sekaligus — mempertahankan ku, sementara ikatan lain
jalan terus —
membuat hati ku sungguh terberangus. Bukan hanya terbakar, tapi sempat hangus.
Tapi aku penyintas yang tangguh.
Terbukti aku berhasil mengalahkan rasa nyeri itu meski penuh peluh. Saat kelak
kita bertemu lagi, tetap akan kamu temukan sungging senyum ku yang penuh. Hati
ku sempat kamu tikam, hampir terbunuh. Namun serakan hati itu kini menguatkan ku
— hingga ke pembuluh.
Jika kita bertemu lagi nanti, tolong berhenti bertanya
apa yang membuat aku sedingin ini. Seharusnya kamu sudah cukup tahu diri.
Kamulah yang membuat aku menghantam apapun yang dunia beri tanpa kernyit di
dahi kiri. Seakan badan ini punya kemampuan built
in untuk
memperbaiki diri sendiri.
Jujur saja.
Tanpamu, aku pernah menekuk lutut ke dada lalu menangis tanpa henti. Hidup
sempat terasa kosong sekali. Ada masa aku terbangun jam 2 pagi, teringat kamu,
membayangkan apa yang sedang kamu lakoni. Lalu mengutuk dan menyalahkan diri
sendiri. Mengapa karena kurangnya aku kamu harus pergi?
Tapi kini aku mengerti. Atau memang semesta berbaik hati memberikan
kesadaran ini. Bukan aku yang tak cukup memberi. Toh jika diingat lagi aku
sudah memberikan semua yang wanita bisa tawarkan agar kamu mengakuiku kalau aku
ada. Kamulah memang dingin., tanpa peduli ada degup kecil yang bisa tersakiti. Aku
tak ingin mendoakanmu agar keburukan menghampiri.
Hati ku kini tak
lagi utuh. Karenamu, ada sisinya yang remuk dan rapuh. Tapi tegas aku minta
agar kamu tetap menjauh.
Kamu bukan lagi orang yang kini aku masukkan dalam kompartemen “butuh”.
Bukan juga pribadi yang mati-matian aku pertahankan komitmen agar tak dihantam jenuh.
Ikhlas, aku biarkan tumpukan kenangan dan rasa sakit itu jatuh. Episode kita
yang kertasnya keriting karena perlakuan burukmu sudah aku buang jauh-jauh.
Hanya aku dan Cinta diamku.
0 komentar