2 Februari 2007
Kala itu siang yang cerah
Langit terlihat biru
Tidak, bukan mendung
Kala itu siang terlihat menawan
Dipenuhi awan putih berlarian
Tidak, bukan hujan
Kala itu, aku tersenyum
Menatap masa depan
Tidak, bukan menyesal
Kala itu ingin ku habiskan waktu
Kala itu siang yang cerah
Langit terlihat biru
Tidak, bukan mendung
Kala itu siang terlihat menawan
Dipenuhi awan putih berlarian
Tidak, bukan hujan
Kala itu, aku tersenyum
Menatap masa depan
Tidak, bukan menyesal
Kala itu ingin ku habiskan waktu
Bercerita tentang bintang
Tidak, bukan perpisahan
Kala itu ingin ku katakan
Tentang esok yang mungkin tak datang padaku
Tidak, bukan takdir
Kala itu akan tiba
Ku ingin kau lihat langit
Tidak, bukan hujan, maupun awan mendung
Tapi pelangi
– Farra –
5 Februari 2007
“Satu-satunya pekerjaan terakhirku di muka bumi ini adalah membahagiakan mereka yang patut dibahagiakan,” papar Arga sembari memandang langit yang kali ini terasa lebih membiru.
“Satu-satunya pekerjaan terakhirku di muka bumi ini adalah membahagiakan mereka yang patut dibahagiakan,” papar Arga sembari memandang langit yang kali ini terasa lebih membiru.
Tidak, bukan sebuah mendung. Hanya terlihat lebih biru. Farra
mengerling pada Arga. Ia tidak suka mendengar sebuah pengakuan yang terlalu
–atau lebih tepatnya– sangat muluk. Tapi kondisinya yang memaksanya maklum.
Sekalipun hatinya kalut, sekalipun hatinya peka, sekalipun hatinya ingin.
“Terserah kau saja,” Farra membalas singkat. Arga membalas
kerlingan Farra dengan tatapan manisnya.
“Kau tak pernah berubah, ya?” Arga mengacak rambut Farra pelan
sambil tersenyum gemas.
Farra menikmatinya. Sentuhan telapak Arga pada helai-helai
rambutnya tak pernah gagal membuatnya nyaman lebih dari apapun. Sebuah dilemma.
Farra tak bisa menghentikannya. Biarpun semua ini akan berbalik menyerangnya
kala Arga pergi, ia kukuh tak peduli. Farra menikmatinya.
“Apa yang paling kau inginkan di dunia ini, Arga?” tiba-tiba Farra
menanyakannya. Pertanyaan yang sederhana, namun cukup mengejutkan Arga. “Tahta?
Harta? Keabadian? Nafsu?”
Arga melepaskan telapaknya dari rambut Farra yang panjang lurus
sebahu itu. Ia menghela nafas. Seakan ia ingin menghindari pertanyaan itu.
Terselip di pikirannya, kenyataan bahwa Farra mulai beranjak dewasa. Segumpal
sesal menyumbat, waktunya semakin dekat. Tak bisa ia menjadi pendamping setia
kekasih jelitanya itu untuk selamanya. Ahh, jangankan selamanya. Ia saja tidak
tahu apakah esok Tuhan masih akan berbaik hati kepadanya, membiarkannya hidup?
Ia takut untuk meninggalkannya sendirian. Karena tak ada yang bisa menjadi
tempatnya bergantung.
“Aku ingin semuanya selalu damai dan baik-baik saja,” Arga
kembali memfokuskan pandangannya ke arah langit. Farra menengadah. Ikut
dipandangnya sudut langit yang menjadi titik perhentian kedua bola mata Arga.
“Huh, semua makhluk juga tahu kalau keinginanmu itu tidak
mungkin,” Farra sewot.
“Tak ada yang tak mungkin,” Arga mendesis.
“Jadi apa maumu, Arga?” Farra jadi bingung sendiri.
Ia memang tak pernah bisa mengerti jalan pikiran Arga yang penuh
filosofi tapi jalan pikiran itu benar-benar sempurna, bahkan tanpa ada sama
sekali arogansi. Oh, hentikan Farra. Arga sendiri yang bilang bahwa tak ada
yang sempurna di dunia ini yang penuh akan kebajikan sekaligus kelaknatan.
Salah, Arga. Salah. Salah! Tak sadarkah bahwa kau-lah orangnya?
“Itu mauku, Farra. Sudah jelas kan?” Arga mulai sedikit kesal.
Mengapa Farra selalu mendesaknya? Arga sendiri juga tak tahu jalan pikiran
Farra yang nyaris tanpa cacat. Yang rumit, tapi mengesankan.
“Satu lagi. Kau, kau jangan menjadi semakin menyebalkan. Tapi,
tetaplah seperti ini. Jadilah yang apa adanya. Jangan jadi palsu.”
Sebersit kekecewaan terbesit begitu saja pada paras Farra. Sekali lagi, ia dibuat tak mengerti. Akhirnya ia bangun dari duduknya dan berdiri, lantas berjalan pergi ke arah yang berlawanan, meninggalkan Arga yang masih biasa. Yang masih belum mau melewatkan saat ini. Sambil lalu, ia mengucapkan kata-kata seolah ucapan perpisahan “Aku mencintaimu, Ga”
Kata-kata itu berhembus seiring berhembusnya angin.
Sebersit kekecewaan terbesit begitu saja pada paras Farra. Sekali lagi, ia dibuat tak mengerti. Akhirnya ia bangun dari duduknya dan berdiri, lantas berjalan pergi ke arah yang berlawanan, meninggalkan Arga yang masih biasa. Yang masih belum mau melewatkan saat ini. Sambil lalu, ia mengucapkan kata-kata seolah ucapan perpisahan “Aku mencintaimu, Ga”
Kata-kata itu berhembus seiring berhembusnya angin.
—
Flashback
Tahukah kau mengapa ku suka memandangi waktu?
Tidak, memang kenapa?
Waktu selalu berputar sesuai keinginannya
Meski dia ingin berubah akankah ia berganti?
Itulah takdirnya, jika ia bisa alam semesta akan kacau
Percayakah kau akan takdir?
Mungkin, bagaimana denganmu?
Aku percaya, karena bila bukan karena takdir
Aku dan kau tak pernah bertemu
Kita tak pernah saling mengenal
Karena itulah takdir kita
Namun, karena takdir itulah
Kita takkan bisa selalu bersama
Karena aku akan menjelajahi waktu
Bolehkah aku ikut?
Aku ingin selalu bersamamu
Setiap saat dan setiap waktu
Tidak, ini bukan waktumu.
Tahukah kau mengapa ku suka memandangi waktu?
Tidak, memang kenapa?
Waktu selalu berputar sesuai keinginannya
Meski dia ingin berubah akankah ia berganti?
Itulah takdirnya, jika ia bisa alam semesta akan kacau
Percayakah kau akan takdir?
Mungkin, bagaimana denganmu?
Aku percaya, karena bila bukan karena takdir
Aku dan kau tak pernah bertemu
Kita tak pernah saling mengenal
Karena itulah takdir kita
Namun, karena takdir itulah
Kita takkan bisa selalu bersama
Karena aku akan menjelajahi waktu
Bolehkah aku ikut?
Aku ingin selalu bersamamu
Setiap saat dan setiap waktu
Tidak, ini bukan waktumu.
—
25 Maret 2007
“Maaf,” pinta pria berkacamata frameless dengan setelan kemeja rapi kotak-kotak yang dibalut almamater putih lirih.
“Maaf,” pinta pria berkacamata frameless dengan setelan kemeja rapi kotak-kotak yang dibalut almamater putih lirih.
Pria itu terlihat sangat gugup. Kedua tangannya dimasukkan ke
saku almamaternya yang bersih. Sebuah kenyataan yang paling menyakitkan dan membahagiakan
akan disampaikannya kepada sepasang suami istri yang tak kalah gugupnya. Hal
yang dibencinya, tapi ini tuntutan profesi. Setiap harinya ia nyaris mendapat
bebanyang tak terkira karena menyangkut nyawa seseorang. Tapi mau bagaimana?
Sudah terjadi. Dia harus segera memberitahukannya.
“Putra anda selamat, pak, bu..”
Sepasang suami istri yang tadinya terduduk lemas di kursi tunggu
langsung menghampiri si pria itu dengan wajah sumringah.
“Terima kasih Dokter. Saya tahu kinerja anda tak bisa diragukan lagi!” si suami tanpa pikir panjang spontan memuji dan ditambah anggukan keras dari si istri. Namun tak lama, si istri tersadar.
“Terima kasih Dokter. Saya tahu kinerja anda tak bisa diragukan lagi!” si suami tanpa pikir panjang spontan memuji dan ditambah anggukan keras dari si istri. Namun tak lama, si istri tersadar.
“Dokter tadi bilang ‘maaf’ kan? Memangnya ada apa, Dok?”
“Kami tidak berhasil menyelamatkan pendonornya, bu.” terang si
pria itu dengan bibir cukup bergetar.
Hening
—
1 April 2007
Satu-satunya pekerjaan terakhirku di muka bumi ini adalah membahagiakan mereka yang patut dibahagiakan.
Kau benar-benar ingin tahu, Arga?
Kenapa satu-satunya pekerjaan terakhirku di muka bumi ini adalah membahagiakan mereka yang patut dibahagiakan?
Itu juga mauku. Sudah jelas kan?
Kau bilang, kau tak mungkin bisa terus hidup.
Kau bilang, kau tak mungkin bisa merasakan usia 17 tahunmu.
Kau bilang, tak akan mungkin ada yang mau berkorban untukmu.
Munafik.
Tak ada yang tak mungkin.
Tak mungkin lah yang tak ada.
Jangan jadi pembohong
Buktikan umur 17 itu bisa kau lalui.
Aku tidak butuh hidup selama 1000 tahun.
Aku hanya butuh mauku itu.
Kau mengerti kan?
Tetaplah seperti ini.
Jadilah yang apa adanya. Jangan jadi palsu.
Haha. Bodohnya aku menulis pesan ini.
Kalau aku masih hidup, aku tidak akan memberikan surat ini padamu, Arga.
Bisa malu besar. Kau pasti akan tertawa terbahak, atau bahkan sampai menangis.
Tapi apa peduliku kini? Aku sudah mati.
Terima kasih telah menjadi bagian dari hidupku, Arga. Dengan penuh hormat dan cinta kasih padaku, yang tak pernah menjadi yang terbaik. Terima kasih telah menjadi kekasihku yang terbaik. Aku akan menemui ayah dan ibuku di surga nanti. Seperti ucapanku sebelum ini. Aku mencintaimu.
Satu-satunya pekerjaan terakhirku di muka bumi ini adalah membahagiakan mereka yang patut dibahagiakan.
Kau benar-benar ingin tahu, Arga?
Kenapa satu-satunya pekerjaan terakhirku di muka bumi ini adalah membahagiakan mereka yang patut dibahagiakan?
Itu juga mauku. Sudah jelas kan?
Kau bilang, kau tak mungkin bisa terus hidup.
Kau bilang, kau tak mungkin bisa merasakan usia 17 tahunmu.
Kau bilang, tak akan mungkin ada yang mau berkorban untukmu.
Munafik.
Tak ada yang tak mungkin.
Tak mungkin lah yang tak ada.
Jangan jadi pembohong
Buktikan umur 17 itu bisa kau lalui.
Aku tidak butuh hidup selama 1000 tahun.
Aku hanya butuh mauku itu.
Kau mengerti kan?
Tetaplah seperti ini.
Jadilah yang apa adanya. Jangan jadi palsu.
Haha. Bodohnya aku menulis pesan ini.
Kalau aku masih hidup, aku tidak akan memberikan surat ini padamu, Arga.
Bisa malu besar. Kau pasti akan tertawa terbahak, atau bahkan sampai menangis.
Tapi apa peduliku kini? Aku sudah mati.
Terima kasih telah menjadi bagian dari hidupku, Arga. Dengan penuh hormat dan cinta kasih padaku, yang tak pernah menjadi yang terbaik. Terima kasih telah menjadi kekasihku yang terbaik. Aku akan menemui ayah dan ibuku di surga nanti. Seperti ucapanku sebelum ini. Aku mencintaimu.
Tertanda,
Farra
Farra
Note: apa aku terlihat munafik di kata terakhir?
“Sangat..” Arga berbisik. “Sangat munafik..”
Terhimpit, dadanya sesak. Pipinya sudah terlalu basah dan lebih
hangat. Hanya karena sepotong ginjal. Ia merasa telah berlaku seperti pembunuh,
ia bahkan tak tahu sepotong dari ginjalnya adalah milik Farra. Sepotong ginjal
mungil yang bersarang di tubuhnya ini milik Farra, seorang kekasih yang selalu
dicintainya.
“Aku juga akan selalu mencintaimu”
Cerpen Karangan: Fatimah Az Zahra
Facebook: Fatimah Az Zahra
Facebook: Fatimah Az Zahra
0 komentar